MY STORE

Monday 30 January 2012

KONSEP ASURANSI KESEHATAN MISKIN (ASKESKIN)

Kesehatan adalah hak dan investasi, semua warga negara berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang mengatur pelaksanaan bagi upaya pemenuhan hak warga negara untuk tetap hidup sehat, dengan mengutamakan pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Namun kualitas kesehatan masyarakat Indonesia selama ini tergolong rendah. Selama ini masyarakat, terutama masyarakat miskin, cenderung kurang memperhatikan kesehatan mereka. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman mereka akan pentingnya kesehatan dalam

OBAT JAMUR

Obat Jamur = Anti fungi = Anti Mikotik yaitu obat yamg digunakan untuk membunuh atau menghilangkan jamur

Infeksi Jamur dibedakan :
• Infeksi Sistemik
• Infeksi Topikal (dermatofit)

Penggolongan Obat Jamur ;
1. Gol. Polien
Mekanisme Kerja : Berikatan kuat dengan sterol pada membran sel jamur → membran sel bocor terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel → kerusakan yg tetap pada sel jamur

OBAT ANTI PERDARAHAN

Obat anti perdarahan disebut juga hemostatik. Hemostatis merupakan proses penghentian perdarahan pada pembuluh darah yang cedera. Jadi, Obat haemostatik (Koagulansia ) adalah obat yang digunakan untuk menghentikan pendarahan.
Obat haemostatik ini diperlukan untuk mengatasi perdarahan yang meliputi daerah yang luas. Pemilihan obat hemostatik harus dilakukan secara tepat sesuai dengan patogenesis perdarahan.
Dalam proses hemostasis berperan faktor-faktor pembuluh darah (vasokonstriksi), trombosit (agregasi), dan faktor pembekuan darah

ANALGETIK ANTIPIRETIK - MATERI FARMAKOLOGI

OBAT ANALGETIKA adalah obat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran

OBAT ANTIPIRETIKA
obat yang menurunkan suhu tubuh

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yg tidak enak dan yg berhubungan dengan gangguan/kerusakan jaringan
Rasa nyeri hanya sebagai gejala/isyarat adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot.

FARMAKOLOGI

FARMAKOLOGI

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya, yaitu sifat-sifat kimia dan fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup

Farmakologi mencakup beberapa ilmu bagian :
1. Farmakognosi : mempelajari pengetahuan dan pengenalan obat-obat yang berasal dari tanaman, mineral dan hewan.
2. Biofarmasi : menyelidiki pengaruh formulasi obat terhadap efek terapeutiknya.

MAKALAH DOKUMENTASI KEPERAWATAN - PERAN, FUNGSI, TANGGUNG JAWAB DAN LINGKUP KEWENANGAN PERAWAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

CACING KREMI

CACING KREMI atau biadi adalah cacing putih yang kecil-kecil kira-kira ¼ inci panjangnya. Cacing ini akan memakan isi usus.

CARA PENULARANNYA
- Telur-telur cacing kremi ini yang keluar melalui dubur akan mengakibatkan gatal-gatal bila digaruk, telur tersebut banyak terdapat di ujung kuku yang selanjutnya ditelan kembali dan kemudian ini terus berlanjut.

AUDIT KEPERAWATAN


Pengantar
Kecenderungan dunia akuntabilitas profesional untuk publik yang tercerahkan tidak dapat lagi diabaikan oleh perawat. Kami perawat dengan mudah menggunakan kata-kata "Perawatan Kualitas" tetapi kita mendefinisikan apa yang kita maksud dengan "Kualitas?". Apakah kita tahu kekurangan kita? Apakah kita siap untuk mengakui kekurangan kita untuk rekan-rekan kita? Apakah kita mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki mereka? Hanya dengan regulasi diri seperti kita dapat mempertahankan identitas kita dengan kesehatan profesional sebagai mitra alam.

Artinya:
1. Kualitas - sebuah penilaian tentang apa yang merupakan baik atau buruk.
2. Audit - pemeriksaan yang sistematis dan kritis untuk memeriksa atau memverifikasi.
3. Perawatan Audit - (a) itu adalah penilaian kualitas asuhan keperawatan, (b) menggunakan rekor sebagai bantuan dalam mengevaluasi kualitas perawatan pasien.
4. Audit Medis - analisis, sistematis kritis terhadap kualitas perawatan medis, termasuk prosedur untuk diagnosis dan pengobatan, penggunaan sumber daya, dan hasil yang dihasilkan dan kualitas hidup pasien.

Definisi:
1. Menurut Elison "mengacu Perawatan audit untuk penilaian kualitas perawatan klinis".
2. Menurut Goster Walfer
a. Perawatan Audit adalah latihan untuk mengetahui apakah praktek keperawatan yang baik diikuti.
b. Audit tersebut merupakan sarana yang perawat sendiri dapat menentukan standar dari sudut pandang mereka dan menggambarkan praktik keperawatan aktual.

Sejarah Singkat Audit Keperawatan:
Perawatan Audit adalah evaluasi pelayanan keperawatan. Sebelum 1955 sangat sedikit yang diketahui tentang konsep tersebut. Diperkenalkan oleh keprihatinan industri dan tahun 1918 adalah awal audit medis.
George Groword, diucapkan dokter istilah untuk pertama kalinya audit medis. Sepuluh tahun kemudian Thomas R Pondon MD mendirikan sebuah metode audit medis berdasarkan prosedur yang digunakan oleh akun keuangan. Dia mengevaluasi perawatan medis dengan meninjau catatan medis.
Pertama laporan audit Keperawatan dari rumah sakit diterbitkan pada tahun 1955. Selama 15 tahun berikutnya, keperawatan audit dilaporkan dari studi atau merekam pada dekade terakhir. Program ini terakhir dari rencana catatan keperawatan, perawat catatan, kondisi pasien, asuhan keperawatan.

Tujuan Audit Keperawatan:
1. Perawatan perawatan mengevaluasi diberikan,
2. Mencapai kualitas pantas dan layak asuhan keperawatan,
3. Stimulan untuk catatan yang lebih baik,
4. Berfokus pada perawatan yang diberikan dan bukan pada penyedia perawatan,
5. Memberikan kontribusi untuk penelitian.

Metode Audit Keperawatan:
Ada dua metode:
a. Pandangan retrospektif - ini mengacu pada penilaian yang mendalam kualitas setelah pasien telah habis, memiliki pasien grafik untuk sumber data.
Audit retrospektif adalah metode untuk mengevaluasi kualitas asuhan keperawatan dengan memeriksa asuhan keperawatan seperti yang tercermin dalam catatan perawatan pasien untuk pasien habis. Dalam hal ini jenis audit perilaku khusus yang dijelaskan maka mereka diubah menjadi pertanyaan dan pemeriksa mencari jawaban dalam catatan. Misalnya pemeriksa terlihat melalui catatan pasien dan bertanya:
a. Adalah proses pemecahan masalah yang digunakan dalam perencanaan asuhan keperawatan?
b. Apakah data pasien dikumpulkan secara sistematis?
c. Apakah deskripsi pra-rumah sakit pasien rutinitas disertakan?
d. Hasil tes laboratorium yang digunakan dalam perencanaan perawatan?
e. Apakah perawat melakukan penilaian fisik? Bagaimana informasi yang digunakan?
f. Apakah diagnosis keperawatan menyatakan?
g. Apakah perintah menulis perawat keperawatan? Dan seterusnya.

b. Tinjauan bersamaan - ini mengacu pada evaluasi yang dilakukan atas nama pasien yang masih menjalani perawatan. Ini meliputi penilaian pasien di samping tempat tidur dalam kaitannya dengan pra-ditentukan kriteria, mewawancarai staf yang bertanggung jawab untuk perawatan ini dan meninjau catatan pasien dan rencana perawatan.

Metode untuk Mengembangkan Kriteria:
1. Tentukan populasi pasien.
2. Mengidentifikasi kerangka waktu untuk mengukur hasil perawatan,
3. Mengidentifikasi masalah keperawatan yang biasa berulang disajikan oleh populasi pasien yang ditetapkan,
4. Kriteria hasil pasien Negara,
5. Negara dapat diterima tingkat pencapaian tujuan,
6. Tentukan sumber informasi.
7. Desain dan jenis alat
a. Jaminan kualitas harus menjadi prioritas,
b. Mereka yang bertanggung jawab harus menerapkan program tidak hanya alat,
c. Sebuah koordinator harus mengembangkan dan mengevaluasi kegiatan jaminan kualitas,
d. Peran dan tanggung jawab harus disampaikan,
e. Perawat harus diinformasikan tentang proses dan hasil program,
f. Data harus dapat diandalkan,
g. Orientasi memadai pengumpulan data adalah penting,
h. Kualitas data harus disetahunkan dan digunakan oleh personil keperawatan di semua tingkat.

Audit Siklus:
Tetapkan Standar
Menerapkan perubahan mengamati praktek

Bandingkan dengan standar

Komite Audit:
Sebelum melaksanakan audit, komite audit harus dibentuk, terdiri dari minimal lima anggota yang tertarik dalam penjaminan mutu, secara klinis kompeten dan mampu bekerja sama dalam kelompok. Disarankan bahwa setiap anggota harus meninjau tidak lebih dari 10 pasien setiap bulan dan bahwa auditor harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan audit dalam waktu sekitar 15 menit. Jika ada kurang dari 50 pembuangan per bulan, maka semua catatan dapat diaudit, jika ada sejumlah besar catatan yang akan diaudit, maka auditor dapat memilih 10 persen dari discharge.

Pelatihan bagi auditor harus mencakup sebagai berikut:
a. Sebuah diskusi rinci dari tujuh komponen.
b. Sebuah diskusi kelompok untuk melihat bagaimana harga kelompok t dia peduli diterima menggunakan catatan dari seorang pasien yang telah habis, ini harus anonim dan harus mencerminkan periode total perawatan tidak melebihi dua minggu.
c. Setiap auditor harus melakukan individu maka latihan yang sama seperti di atas. Ini diikuti dengan pertemuan seluruh komite yang membandingkan dan mendiskusikan temuan, dan akhirnya mencapai konsensus pendapat tentang masing-masing komponen.
Langkah-langkah untuk Memecahkan Masalah Proses dalam Perencanaan Perawatan:
a. Mengumpulkan data pasien secara sistematis,
1. meliputi deskripsi pasien pra-rumah sakit rutinitas,
2. memiliki informasi tentang tingkat keparahan penyakit,
3. memiliki informasi tentang tes laboratorium,
4. memiliki informasi mengenai tanda-tanda vital,
5. Apakah informasi dari penilaian fisik dll
b. Perawat Amerika diagnosis,
c. Menulis intervensi keperawatan,
d. Mengusulkan tujuan jangka segera dan panjang,
e. Mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan,
f. Rencana pengajaran kesehatan bagi pasien,
g. Mengevaluasi rencana perawatan,

Audit sebagai Alat Pengendalian Kualitas:
Audit adalah pemeriksaan sistematis dan resmi proses, catatan atau account untuk mengevaluasi kinerja. Audit dalam organisasi perawatan kesehatan menyediakan manajer dengan cara menerapkan proses kontrol untuk menentukan kualitas layanan yang diberikan. Perawatan audit adalah proses menganalisis data tentang proses keperawatan hasil pasien untuk mengevaluasi efektivitas intervensi keperawatan. Audit yang paling sering digunakan dalam pengendalian kualitas meliputi hasil, proses dan struktur audit.
1. Audit Hasil: Hasil adalah hasil akhir perawatan, perubahan dalam status kesehatan pasien dan dapat dikaitkan dengan pemberian pelayanan perawatan kesehatan. Hasil audit menentukan apa hasil jika ada terjadi sebagai hasil dari intervensi keperawatan spesifik untuk klien. Audit ini mengasumsikan hasilnya akurat dan menunjukkan kualitas perawatan yang diberikan. Contoh hasil tradisional digunakan untuk mengukur kualitas perawatan rumah sakit termasuk mortalitas, morbiditas, dan lama tinggal di rumah sakit.
2. Proses audit: audit proses digunakan untuk mengukur proses perawatan atau bagaimana perawatan dilakukan. Proses audit adalah tugas berorientasi dan fokus pada apakah atau tidak standar praktik sedang digenapi. Audit ini diasumsikan bahwa ada hubungan antara kualitas perawat dan kualitas perawatan yang diberikan.
3. Struktur Audit: Audit Struktur memantau struktur atau pengaturan perawatan pasien di mana terjadi, seperti keuangan, pelayanan keperawatan, rekam medis dan lingkungan. Audit ini mengasumsikan bahwa ada hubungan antara perawatan kualitas dan struktur yang sesuai. Audit ini di atas dapat terjadi secara retrospektif, secara bersamaan dan prospektif.
Untuk kontrol mutu yang efektif, manajer perawat telah memainkan peran berikut dan fungsi.

Keuntungan dari Audit Keperawatan:
1. Dapat digunakan sebagai metode pengukuran dalam semua bidang keperawatan.
2. Tujuh fungsi yang mudah dipahami,
3. Sistem penilaian cukup sederhana,
4. Hasil mudah dipahami,
5. Menilai pekerjaan semua pihak yang terlibat dalam perawatan rekaman,
6. Dapat menjadi alat yang berguna sebagai bagian dari program jaminan kualitas di daerah di mana catatan akurat dari perawatan disimpan.

Kekurangan Audit Keperawatan:
1. menilai hasil dari proses keperawatan, sehingga tidak begitu berguna di daerah di mana proses keperawatan belum dilaksanakan,
2. banyak komponen tumpang tindih membuat analisis sulit,
3. sangat memakan waktu,
4. membutuhkan tim auditor yang terlatih,
5. berurusan dengan sejumlah besar informasi,
6. Hanya mengevaluasi pencatatan. Ini hanya berfungsi untuk meningkatkan dokumentasi, bukan asuhan keperawatan.

Kesimpulan:
Kekhawatiran profesi A untuk kualitas pelayanan merupakan jantung dari tanggung jawabnya kepada publik. Audit membantu untuk memastikan bahwa kualitas perawatan yang diinginkan dan layak dicapai. Konsep ini sering disebut sebagai jaminan kualitas.

Referensi:
1) Kamal S Jogelkar. Rumah Sakit kata manajemen, penyesuaian profesional dan tren dalam keperawatan. Mumbai; Vora medis-publikasi: 1990.
2) BT Basavanthappa. Perawatan Administrasi. New Delhi; Jaypee Brothers: 2002.
3) SL Goel, R Kumar. Rumah Sakit administrasi dan manajemen. New Delhi, penerbit Jauh dan Deep: 2000.

Artikel jurnal:
1) C Bjorvell. Pengembangan instrumen audit untuk perawatan rencana dalam catatan pasien. J. Kualitas dalam perawatan kesehatan. 2000; 9:6-13.
2) G Johnston. Meninjau Audit: hambatan dan memfasilitasi faktor-audit yang efektif klinis. J. Kualitas dalam perawatan kesehatan. 2000; 9:23-36.
3) G Jamtvedt. Audit dan umpan balik: efek-pada praktek profesional dan hasil perawatan kesehatan. J. Kualitas dalam perawatan kesehatan. 2000; 7:27-36.
4) FM Cheater dan M Keane. Perawat partisipasi dalam audit: Sebuah penelitian regional. J. Kualitas dalam perawatan kesehatan. 1998;

Sunday 29 January 2012

Dispepsia

Dispepsia

DEFINISI
Dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut.
PENYEBAB
Penyebab Dispepsia adalah :

Sistem enokrin

DEFINISI

Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah.
Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh.


KELENJAR ENDOKRIN

Organ utama dari sistem endokrin adalah:

Sistem reproduksi pada pria

Sistem reproduksi pria meliputi organ-organ reproduksi, spermatogenesis dan hormon pada pria.
Organ Reproduksi
Organ reproduksi pria terdiri atas organ reproduksi dalam dan organ reproduksi luar.
Organ Reproduksi Dalam
Organ reproduksi dalam pria terdiri atas testis, saluran pengeluaran dan kelenjar asesoris.

Anatomi sistem saraf


Sistem Saraf Manusia
Tubuh manusia terdiri atas organ-organ tubuh yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Agar organ-organ tubuh dapat bekerja sama dengan baik, diperlukan adanya koordinasi (pengaturan). Pada manusia dan sebagian besar hewan, koordinasi dilakukan oleh sistem saraf, sistem indra, dan sistem hormon. Dalam bab ini hanya akan dibahas tentang sistem saraf .

Sistem saraf sangat berperan dalam iritabilitas tubuh. Iritabilitas adalah kemampuan menanggapi rangsangan. Untuk menanggapi rangsangan, ada tiga komponen yang harus dimiliki oleh sistem saraf, yaitu:

Saturday 28 January 2012

ASUHA KEPERAWATAN PADA PASIEN FARINGITIS

1. Pengertian
Farigitis ( dalam bahasa latin pharyngitis) adalah suatu penyakit radangan yang menyerang tengorok atau paring yang diseebabpkan oleh bakteri atau virus tertentu kadang juga disebut sebagai radang tenggorok (wikipedia.Com).

2. Epidemiologi
Faringitis terjadi pada setiap umur dan tidak di pengaruhi oleh jenis kelamin, tetapi Frekuensi paliny tinggi terjadi pada anak-anak

3. Etiologi
Faringitis bisa disebabpkan oleh virus maupun bakteri kebanyakan disebkan oleh virus, termasuk virus penyebab commond cold, flu, adenovirus, mononukleosis atau HIV.

4. Potofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi laspisan epitel kemudian bila epitel terkikis limfoid seperficil beraksi terjadi pemembendungan radang dengan infiltrasi leokosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terjadi hiperemi, kemudian oedem dan sekresi yang meningkata. Eksudat mula-mula merosa tapi menjadi menebal dan cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding paring. Dengan hiperemi pembuluh darah dinding varing menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat pada folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa polikel linfoid dan bercak-bercak pada dinding paring posterior atau terletak lebih kelateal menjadi meradang dan membengkak sehingga timbul radang pada tengorok atau faringitis

5. Klasifikasi
Berdasarkan lama berlangsungnya
1. Faringitis akut adalah radang tengorok yang disebapkaan oleh virus atau bakteri yaitu streptokokus grup A dengan tanda dan gejala mokosa dan tonsil yang berwarna merah, malaise, nyeri tengorok dan kadang diseratai demam dan batuk.
2. Faringitis kronis, adalah radang tengorok yang sudah berlangsung dalam waktu yang lama, biasanya tidak disertai nyeri menelan, cuman trasa ada sesuatu yang menganjal ditenggorok. Faringitis krinis terjadi umumnya pada invidu dewasa yang bekerja atu tinggal dalam lingkingan yang berdebu, menggunakan suara yang berlebihan, menderita batuk kronik, dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan temabakau. Faringitis kronis dibagi menjadi tiga yaitu :
 Faringitis hipertrofi ditandai dengan penebalan umum dan kengesti membaran mukosa
 Faringitis atrofi kemungkinan merupakan thap lanjut dari jenis pertama ( membran tipis, keputihan, licin pada waktunya berkerut)
 Faringitis granular kronik terjadi pembengkakan folikel limfe pada dinding faring
6. Gejala klinis
Penyakit ini cenderung akut dengan disertai demam yang tinggi sakit kepala, rasa nyeri diperut dan muntah-muntah. Tengggorokan terasa nyeri, amandel menjadi berwarnah merah dan membengkak. Pada anak yang sudah lebih besar, akan terlihat adanya lipisan seperti krim diatas amandel (eksudat) yang tidak mengeluarkan darah bila disentuh. Kelenjar getah bening dileher sering membengkak dan terasa nyeri bila ditekan. Berbeda dengan faringitis virus, penderita faringitis streptokokos tidak mengalami rhinitis, suara serak atau batuk.

7. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : kemerahan pada faring, adanya pembengkakan di daerah leher
Palpasi : adanya kenaikan suhu pada bagian leher, adanya nyeri tekan
TTV : suhu tubuh mengalami kenaikan, nadi meningkat, dan napasnya cepat

8. Pemeriksaan diagnostik
Kultur dan uji resistensi

9. Diagnosis
 Pemeriksaan serologic
 Pemeriksaan sputum untuk mengetahui basil tahan asam
 Foto thorak untuk melihat adanya tuberkolusis paru
 Biopsi jaringan untuk mengetahui proses keganasan serta mencari basil tahan asam di jaringan

10. Tindakan penanganan
 Untuk faringitis virus penanganan dilakukan dengan memberikan aspirin atau asetaminofen cairan dan istrahat baring. Komplikasi seperti sinusitus atau pneumonia biasanya disebabkan oleh bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus sehingga untuk mengatasi komplikasi ini di cadangkan untuk mengunakan antibiotika

 Untuk faringitis bakteri paling baik diobati dengan pemberian penisilin G sebanyak 200.000-250.000 unit, 3-4 kali dalam sehari selama 10 hari.pemberian obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan terjadinya suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromissin atau klindamisin merupakan obat alin dengan hasil memuaskan jika penderita alergi terhadap penisilin. Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi obat, pemberian kompres panas atau dingin dapat membantu meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula meringankan nyeri tenggorokan dalam hal ini dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama

11. Komplikasi
Penyakit ini, jika dibiarkan sampai menjadi berat, dapat menimbulkan radang ginjal ( glomerulonefritis akut ), demam rematik akut, otitis media ( radang telinga bagian tengah ), sinusitis, abses peritonsila dan abses retropharynx ( radang disekitar amandel atau bagian belakang tenggorokan yang dapat menimbulkan nanah).



A. PENGKAJIAN

INTEGRITAS EGO
Gejala : pernapasan takut akan kehilangan suara kuatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja dan keuangan
Tanda : ansietas, depresi

MAKANAN/CAIRAN
Gejala : kesulitan menelan
Tanda : kesulitan menelan, mudah terdesak, bengkak, inflamasi/drainase oral, kebersihan gigi buruk

HYGIENE
Tanda : kemunduran kebersihan gigi
Kebutuhan bantuan perawatan dasar

NEUROSENSORI
Gejala : kesemutan, parestesia otot wajah
Tanda : hemiparesis wajah ( keterlibatan parotid dan sub mandibular ), kesulitan menelan, kerusakan membran mukosa

NYERI/ KENYAMANAN
Gejala : sakit tenggorokan, penyebaran nyeri ketelinga dan wajah, nyeri lokal pada orofaring
Tanda : perilaku berhati-hati, kelisa, nyeri wajah, gangguan tonus otot

PERNAFASAN
Gejala : riwayat merokok, penyakit paru kronis, batuk dengan/ tanpa sputum
Tanda : dispnea, sputum, darah

KEAMANAN
Gejala : perubahan pendengaran


INTERAKSI SOSIAL
berkomunikasi,bergabung dalam interaksi sosial.
Tanda : bicara kacau, enggan untuk berbicara

B. DIAGNOSA
1. Bersihkan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi berlebihan sekunder akibat proses inflamasi
2. Nyeri berhubungan dengan iritasi jalan nafas atau sekunder akibat infeksi
3. Kerusakan komunikasi verbal berhuhubungan dengan iritasi jalan nafas atas
4. Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan kehilangan cairan sekunder akibat diaforesis yang berkaitan dengan demam
5. Kurang pengetahuan mengenal pemcegahan infeksi berhubungan dengan kurang terpajan tentang penyakit dan pengobatan sertaprosedur perawatan

C. INTERVENSI
NDX 1:Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang berlebihan
Intervensi:
1. Awasi frekuensi / kedalaman pernafasan, catat kemudahan bernafas auskultasi bunyi nafas, selidiki kegelisahan, dispnea, terjadinya sianosis
R/ perubahan pada pernafasan, penggunaan otot aksesori pernafasan atau adanya ronchi diduga karena retensi sekret.
2. Tinggikan kepala 30-40 derajat.
R/ memudahkan drainase sekret, kerja pernafasan dan ekspansi paru.
3. Dorong menelan jika pasien mampu
R/ mencegah pengumpulan secret untuk membersihkan oral, menurunkan resiko aspirasi.
4. Dorong batuk efektif dan nafas dalam
R/ memobilisasi sekret untuk membersihkan jalan nafas atas dan membantu mencegah komplikasi pernafasan


NDX 2 : Nyeri berhubungan dengan iritasi jalan nafas atau akibat infeksi
Intervensi :

1. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, skala dan selidiki serta laporkan perubahan nyeri yang tepat.
R/ berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan.
2. Pantau tanda vital
R/ perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri.
3. Berikan analgetik sesuai indikasi
R/ menghilangkan nyeri, mempermudah kerjasa dengan intervensi terapi lain.

NDX 3 : kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan iritsi jalan nafas atas.
Intervensi :

1. Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi
R/ alasan untuk dukungan ventilator jangka panjang bermacam-macam, pasien dapat sadar dan beradaptasi pada penulisan.
2. Tentukan apakah pasien mempunyai gangguan komunikasi lain contoh perdengaran, penglihatan.
R/ adanya masalah lain akan mempengaruhi rencana untuk pilihan komunikasi
3. Berikan cara yang tepet dan kontinyu untuk memanggil perawat, contoh bel pemanggil atau lampu
R/ pasien memerlukan keyakinan bahwa perawat waspada dan akan berespon terhadap panggilan.
4. Berikan pilihan cara berkomunikasi yang tepat bagi kebutuhan pasien misalnya papan dan pensil, bahasa isyarat.
R/ memungkunkan pasien untuk menyatakan kebutuhan atau masalah
5. Berikkan komunikasi nonverbal, contonya sentuhan dan gerak fisik
R/ mengkomunikasikan masalah dan memenuhi kebutuhan kontak dengan orang
6. Ingatkan pasien untuk tidak bersuarasampai dokter memberi izin.
R/ meningkatkan penyembuhan pita suara dan membatasi potensialdisfungsi pita permanen

NDX 4 : defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan kehilangan cairan akibat diaforesia yang berkaitan dengan demam

NDX 5 : Kurangan pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan tentang informasi penyakit dan pengobatannya.
Intervensi :

1. Kaji potensial kerja sama dalam program pengobatan dirumah termasuk orang terdekat sesuai indikasi
R/ orang terdekat memerlukan keterlibatan bila proses penyakit berat atau berubah untuk batasan kesembuhan.
2. Berikan informasi dalam bentuk-bentuk dan segmen yang singkat dan sederhana
R/ meurunya rentang perhatian pasien dapat menurunkan kemampuan untyuk menerima/ memproses dan mengingat/ menyimpan informasi yang di berikan
3. Diskusikan mengenai kemungkinan proses penyembuhan yang lama.
R/ proses pemulihan dapat berlangsung dalam beberapa minggu/bulan dan informasi yang dapat mengenai harapan dapat menolong pasien untuk mengatasi ketidak mampuannya dan juga menerima perasaan tidak nyaman.

D. EVALUASI
Hasil yanbg diharapkan:
1. Mempertahankan jalan nafastetap paten dengan mengatasi sekresi
a. Melaporkan penurunan pada kongesif
b. Mengambil posisi terbaik untuk memudahkan drainase sekresi
2. Melaporkan perasaan lebih nyaman
a. Mengikuti tindakan untuik mencapai kenyamanan analgesic, kantung panas, kumur, istrahat.
b. Memperagakan higyne mulut yang adekuat
3. Menunjukan kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan dan tingkat kenyamanan
4. Mempertahankan masukan cairan yang adekuat
5. Mengidentifikasi strategi untuk mencegah infeksi jalan nafas atas dan reaksi alergi
6. Menunjukan tingkat pengetahuan yang cukup dan melakukan perawatan diri secara adekuat.
7. Bebas dari tanda dan gejala infeksi:
a. Menunjukan tanda-tanda vital yang normal ( suhu tubuh, frekuensi nadi, dan pernafasan )
b. Tidak terdapat drainase plurelen
c. Bebas dari nyeri pad telinga, sinus dan tenggorokan

















HASIL DISKUSI KELOMPOK TGL 22 JANUARI 2012
Pertanyaan – pertanyaan:
1. Bagaimana mekanisme kerja atau patofisiologinya sinusitis penyebab salah satunya adalah alergi sehingga menyebabkan sinusitis?
2. Mengapa bronchitis akut terjadi hanya pada anak – anak?
3. Bagaimana penyebab pneumotoraks secara skunder?
4. Sebutkan dan jelaskan pengobatan secara herbal penyakit empisema?
5. Mengapa penyakit faringitis frequensi tertinggi terjadi pada anak –anak, dan bagaimana cara pengobatan faringitis akut dan faringitis kronik?

Jawaban:
1. Didalam rongga sinus terdapat silia, fungsi silia adalah mendorong fudir masuk ke dalam sehingga rongga sinus bersih. Apabila di dalam rongga sinus terjadi pembengkakan maka lender tidak dapat terdorong, sehingga terdapat tumpukan lender yang menyebabkan sinusitis.
2. Karena pada anak imunisasinya belum lengkap.
3.
4. Pengobatan secara herbal ada, yaitu dengan cara merebus daun sirsak dan kemudian air daun sirsak yang telah direbus diminum pada penderita episema,hal ini disebabkan karena kandungan dari daun sirsak yang mengandung antioksidan yang mempercepat proses pertukaran co2 dan O2 yang dapat memperbaiki dinding alveoli.
5. Penyakit faringitis frequensi tertinggi terjadi pada anak-anak karena daya tahan tubuh anak-anak masih lemah, masih memerlukan imunisasi dan anak-anak rentan terhadap penyakit dibanding orang dewasa, dimana anak-anak masih memerlukan pengawasan orang tuanya. Kita sebagai perawat, sebaiknya memberikan pengetahuan kepada orang tua, bagaimana cara memelihara kebersihan, mulai dari kebersihan makanan, tempat tinggal, lingkungan bermain dan pakaian. Untuk faringitis akut yang disebabkan oleh virus, pengobatannya adalah dapat dilakukan dengan memberikan aspirin atau asetaminofen cairan dan istirahat baring. Untuk faringitis yang disebabkan oleh bakteri dapat dilakukan dengan pemberian penisilin G sebanyaksebanyak 200.000 – 250.000 unit, 3 – 4 kali selama 10 hari. Jika penderita nyeri tenggorokan yang hebat pemberian kompres panas atau dingin pd leher dapat membantu meringankan nyari, dan juga berkumur-kumur dengan larutan garam hangat.

ASKEP SINDROM KORONER AKUT

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
Sindrom Koroner Akut (SKA)

1.1 Definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil.
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

2.2 Etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh empat hal, meliputi:
a. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi kolesterol tinggi.
b. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
c. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
d. Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA) dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
a Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
b Stress emosi, terkejut
c Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

2.3 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA) menurut Braunwald (1993) adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
a. Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
b. Kelas B: Primer.
c. Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium ) Antiangina dan nitrogliserin intravena.

2.4 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosis akut’. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif. Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya sindrom koroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi.

2.5 Manifestasi Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:
a. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
b. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.
c. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.



2.6 Pemeriksaan Diagnostik Sindrom Koroner Akut (SKA)
Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus ditemukan, yakni:
a. Sakit dada
b. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik
c. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.

2.7 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut (SKA)
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien sindrom koroner akut (SKA) adalah:
a. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
b. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
c. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan
d. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
e. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
f. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA) meliputi:
a Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg.
b Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose – independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
c Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.
d Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas 4. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.
e Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
g Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali mengalir menjadi normal.



Web Of Causation Sindrom Koroner Akut (SKA)








2.8 Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)
a. Pengkajian:
1) Identitas klien (umumnya jenis kelamin laki-laki dan usia > 50 tahun)
2) Keluhan (nyeri dada, Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung ± 10 menit)
3) Riwayat penyakit sekarang (Klien mengeluh nyeri ketika beristirahat , terasa panas, di dada retro sternal menyebar ke lengan kiri dan punggung kiri, skala nyeri 8 (skala 1-10), nyeri berlangsung ± 10 menit)
4) Riwayat penyakit sebelumnya (DM, hipertensi, kebiasaan merokok, pekerjaan, stress), dan Riwayat penyakit keluarga (jantung, DM, hipertensi, ginjal).

b. Pemeriksaan Penunjang:
1) Perubahan EKG (berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q patologik)
2) Enzim jantung (meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl).

c. Pemeriksaan Fisik
1) B1: dispneu (+), diberikan O2 tambahan
2) B2: suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 dtk, akral dingin
3) B3: pupil isokor, reflek cahaya (+), reflek fisiologis (+)
4) B4: oliguri
5) B5: penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-)
6) B6: tidak ada masalah

d. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Masalah Keperawatan Intervensi
1. Chest Pain b.d. penurunan suplay oksigen ke miokard sekunder terhadap IMA

Tujuan :
Klien dapat beradaptasi dengan nyeri setelah mendapat perawatan 1x24 jam
Nyeri berkurang setelah intervensi selama 10 menit

Kriteria hasil :
a. Skala nyeri berkurang
b. Klien mengatakan keluhan nyeri berkurang
c. Klien tampak lebih tenang 1. Anjurkan klien untuk istirahat
(R: istirahat akan memberikan ketenangan sebagai salah satu relaksasi klien sehingga rasa nyeri yang dirasakan berkurang, selain itu dengan beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)
2. Motivasi teknik relaksasi nafas dalam
(R: relaksasi napas dalam adalah salah satu teknik relaks dan distraksi, kondisi relaks akan menstimulus hormon endorfin yang memicu mood ketenangan bagi klien)
3. Kolaborasi analgesik ASA 1 x 100 mg
(R: Analgesik akan mengeblok nosireseptor, sehingga respon nyeri klien berkurang)
4. Evaluasi perubahan klien: Nadi, TD, RR, skala nyeri, dan klinis
(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan
Masalah Keperawatan Intervensi
2. Penurunan curah jantung
Tujuan: Curah jantung meningkat setelah untervensi selama 1 jam

Kriteria hasil :
a. TD normal, 100/80 -140/90
b. Nadi kuat, reguler 1. Berikan posisi kepala (> tinggi dari ekstrimitas)
(R: posisi kepala lebih tinggi dari ekstremitas (30 o) memperlancar aliran darah balik ke jantung, sehingga menghindari bendungan vena jugular, dan beban jantung tidak bertambah berat)
2. Motivasi klien untuk istirahat (bed rest)
(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)
3. Berikan masker non reservoir 8 lt/mnt
(R: pemberian oksigen akan membantu dalam memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh)
4. Kolaborasi medikasi: Pemberian vasodilator captopril, ISDN, Pemberian duretik furosemid
(R: vasodilator dan diuretic bertujuan untuk mengurangi beban jantung dengan cara menurunkan preload dan afterload)
5. Evaluasi perubahan: TD, nadi, dan klinis
(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan sebagai perbaikan intervensi selanjutnya)
Masalah Keperawatan Intervensi
3. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipokalemia

Tujuan : Terjadi keseimbangan elektrolit setelah intervensi 1 jam

Kriteria hasil :
a TD normal (100/80 – 140/90 mmHg)
b Nadi kuat
c Klien mengatakan kelelahan berkurang
d Nilai K normal (3,8 – 5,0 mmmo/L) 1. Pantau TD dan nadi lebih intensif
(R: penurunan Kalium dalam darah berpengaruh pada kontraksi jantung, dan hal ini mempengaruhi Td dan nadi klien, sehingga dengan memantau lebih intensif akan lebih waspada)
2. Anjurkan klien untuk istirahat
(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)
3. Kolaborasi pemberian kalium : Kcl 15 mEq di oplos dengan RL (500 cc/24 jam) dan Pantau kecepatan pemberian kalium IV
(R: koreksi Kalium akan membantu menaikkan kadar Kalium dalam darah)
4. Evaluasi perubahan klien: TD, nadi, serum elektrolit, dan klinis
(R: untuk mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan untuk program intervensi selanjutnya)

Daftar Pustaka
Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197. Diakses di Surabaya, tanggal 30 September 2010: Jam 19.01 WIB

Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta: EGC

Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
SISTEM KONDUKSI JANTUNG

Didalam otot jantung terdapat jaringan khusus yang menghantarkan aliran listrik, jaringan tersebut mempunyai sifat-sifat yang khusus, yaitu sebagai berikut :
1. Otomatisasi : kemampuan menghasilkan impuls secara spontan
2. Ritmisasi : pembangkitan impuls yang teratur
3. Konduktifitas : kemampuan untuk menyalurkan impuls
4. Daya rangsang : kemampuan untuk menanggapi stimulasi

Berdasarkan sifat-sifat tersebut diatas, maka secara spontan dan teratur jantung akan menghasilkan impuls-impuls yang disalurkan melalui system hantar untuk merangsang otot jantung dan bisa menimbulkan kontraksi otot. Perjalanan impuls dimaulai dari nodus SA, nodus AV, sampai keserabut purkinje.


SIMPUL/NODUS SINO-ATRIAL (SA)
Simpul Sino-Atrial (SA) merupakan kepingan berbentuk sabit dari otot yang mengalami spesialisasi dengan lebar kira-kira 3 mm dan panjang 1 cm, simpul ini terletak pada dinding posterior atrium kanan tepat dibawah dan medial terhadap muara vena kava superior, serabut-serabut simpul ini masing-masing bergaris tengah 3 – 5 mikron, berbeda dengan serabut otot atrium sekitarnya yang bergaris tengah 15-20 mikron. Tetapi, serabut SA berhubungan langsung dengan serabut atrium sehingga setiap potensial alksi yang mulai pada simpul SA segera menyebar keatrium
Disebut pemacu alami karena secara teratur mengeluarkan aliran listrik impuls yang kemudian menggerakkan jantung secara otomatis. Pada keadaan normal, impuls yang dikeluarkan frekuensinya 60-100 kali/menit. Respon dari impuls SA memberikan dampak pada aktifitas atrium. SA node dapat menghasilkan impuls karena adanya sel-sel pacemaker yang mengeluarkan impuls secara otomatis. Sel ini dipengaruhi oleh saraf simpatis dan parasimpatis.
Irama otomatis serabut sinoatrial. Sebagian terbesar serabut jantung mempunyai kemampuan eksitasi sendiri suatu proses yang dapat menyebabkan berirama otomatis. Ini terutama terjadi pada serabut-serabut system penghantar peroses jantung. Bagian system ini yang terutama menunjukkan eksitasi sendiri adalah serabut simpul SA. Berdasarkan alasan ini simpul SA biasanya mengatur kecepatan denyut seluruh jantung. Serabut SA sedikit berbeda dari sebagian terbesar serabut otot jantung lainnya, yaitu hanya mempunyai potensial membrane istirahat dari 55 – 60 mvolt, dibandingkan dengan 85-95 mvolt pada sebagian terbesar serabut lainnya, potensial istirahat yang rendah ini disebabkan oleh sifat membrane yang mudah ditembus oleh ion natrium. Kebocoran natrium ini juga yang menyebabkan eksitasi sendiri dari serabut SA.

LINTASAN INTERNODAL DAN PENGHANTARAN IMPULS JANTUNG KESELURUH ATRIUM
Ujung serabut simpul SA bersatu dengan serabut otot atrium yang ada disekitarnya, dan potensial aksi yang berasal dari simpul SA berjalan keluar, masuk serabut tersebut. Dengan jalan ini, potensial aksi menyebar keseluruh masa otot atrium dan akhirnya juga kesimpul AV. Kecepatan penghantaran dalam otot atrium sekitar 0,3 meter/detik. Tetapi penghantaran sedikit lebih cepat dalam beberapa berkas kecil serabut otot atrium, sebagian diantaranya berjalan langsung dari simpul SA kesimpul AV dan menghantarkan impuls jantung dengan kecepatan sekitar 0,45-0,6 meter/detik. Lintasan ini yang dinamakan lintasan intermodal.
SIMPUL/NODUS ATRIOVENTRIKULAR (AV)
Letaknya didalam dinding septum (sekat) atrium sebelah kanan tepat diatas katup trikuspidalis dekat muara sinus koronarius, serabut simpul AV bila tidak dirangsang oleh suatu sumber dari luar ,mengeluarkan impuls dengan kecepatan berirama intrinsic 40 – 60 kali/menit. AV node mempunyai dua fungsi penting sebagai berikut :
1. Impuls jantung ditahan disini selama 0,1 atau 100 ml/detik, untuk memungkinkan pengisian ventrikel selama atrium berkontraksi
2. Mengatur jumlah impuls atrium yang mencapai ventrikel.
Penundaan penghantaran pada simpul AV, system penghantaran diatur sedemikian rupa sehingga impuls jantung tidak berjalan dari atrium ke ventrikel terlalu cepat, ini member peluang bagi atrium untuk mengosongkan isinya kedalam ventrikel sebelum kontraksi ventrikel mulai. Terutama simpul AV dan serabut penghantar penyertanya bahwa penundaan penghantaran impuls ini dari atrium ke ventrikel.

BUNDLE HIS
Berfungsi menghantarkan impuls dari nodus AV ke sistem bundle branch

BUNDLE BRANCH
Merupakan lanjutan dari bundle of his yang bercabang menjadi dua bagian berikut.
1. Right bundle branch ( RBB/ cabang kanan ), mengirim impuls ke otot jantung ventrikel kanan
2. Leaft bundle branch ( LBB/ cabang kiri ), yang terbagi dua yaitu :
a. Deviasi kebelakang (left posterior vesicle) menghantarkan impuls ke endokardium ventrikel kiri bagian posterior dan inferior
b. Deviasi kedepan (left anterior vesicle) menghantarkan impuls ke endokardium ventrikel kiri bagian anterior dan superior.

SISTEM PURKINJE
Merupakan bagian ujung dari bundle branch. Menghantarkan atau mengirimkan impuls menuju lapisan subendokard pada kedua ventrikel, sehingga terjadi depolarisasi yang diikuti oleh kontraksi ventrikel.
Serabut purkinje yang meninggalkan simpul AV melalui berkas AV dan amsuk kedalam ventrikel mempunyai sifat-sifat fungsional yang sangat berlawanan dengan sifat-sifat fungsional serabut simpul AV, serabut purkinje mengeluarkan impuls dengan kecepatan antara 20 – 40 kali/menit, serabut ini merupakan serabut yang sangat besar, bahkan lebih besar dari pada serabut otot ventrikel normal, dan serabut ini menghantarkan impuls dengan kecepatan 1,5 – 4 meter/detik, suatu kecepatan sekitar 6 kali kecepatan dalam otot jantung biasanya dan 150 kali kecepatan dalam serabut sambungan. Hal ini memungkinkanpenghantaran impuls jantung yang sangat cepat keseluruh system ventrikel.
Distribusi serabut-serabut purkinje didalam ventrikel. Serabut purkinje, setelah berasal dari dalam simpul AV, membentuk berkas AV, yang kemudian menyusup melalui jaringan fibrosa diantara katup-katup jantung dan kemudian kedalam system ventrikel. Berkas AV hamper segera membagi diri kedalam cabang-cabang berkas kanan dan kiri yang terletak di bawah endokardium sisi septum masing-masing. Tiap-tiao cabang ini berjalan kebawah menuju apeks ventrikel masing-masing, tetapi kemudian membagi menjadi cabang-cabang kecil dantersebar di sekitar tiap-tiap ruang ventrikel dan akhirnya kembali kedasar jantung sepanjang dinding lateral. Serabut Purkinje terminal menenbus massa otot untuk berakhir pada serabut otot. Dari saat inpuls jantung pertama-tama memasuki berkas AV sampai ia mencapai ujung serabut purkinje, waktu total yang berlalu hanya 0,03 detik. Jadi, sekali suatu inpuls jantung memasuki system purkinje, ia menyebar hamper dengan segera keseleruh permukaan endokardium otot ventrikel.

PENGATURAN EKSITASI DAN PENGHANTARAN DIDALAM JANTUNG
SIMPUL SA SEBAGAI PEMACU JANTUNG
Pembangkitan dan penghantaran impuls jantung keseluruh bagian jantung, dalam keadaan normal impuls muncul dari simpul SA. Tetapi ini tidak perlu terjadi dalam keadaan abnormal, karena bagian-bagian lainnya dari jantung dapat memperlihatkan kontraksi berirama dengan cara yang sama seperti serabut simpul SA, ini terutama terjadi pada simpul AV dan serabut purkinje.
Serabut simpul AV, bila tidak dirangsang oleh suatu sumber dari luar, mengeluarkan impuls dengan kecepatan berirama intrinsic 40-60 kali/menit, dan serabut purkinje mengeluarkan impuls diantara 20 – 40 kali/menit. Kecepatan ini berbeda dengan kecepatan normal simpul SA sebesar 60 -100 kali/menit


Frekwensi simpul SA jauh lebih besar dari pada simpul AV atau serabut purkinje. Setiap kali simpul SA mengeluarkan impuls, impulsnya dihantarkan ke serabut AV dan purkinje, sehingga melepaskan muatan membrane peka rangsang mereka. Kemudian semua jaringan ini, seperti juga simpul SA, kembali dari potensial aksi dan menjadi sangat terhiperpolarisasi. Tetapi simpul SA kehilangan hiperpolarisasi ini jauh lebih cepat dari pada dua lainnya dan memancarkan impuls baru sebelum salah satu dari dua lainnya dapat mencapai ambang mereka untuk eksitasi sendiri. Impuls baru ini sekali lagi melepaskan muatan simpul AV dan serabut purkinje. Proses ini berlangsung terus menerus, simpul SA selalu merangsang jaringan-jaringan lain yang mempuanyai potensi untuk eksitasi sendiri sebelum eksitasi sendiri itu dapat benar-benar terjadi. Jadi, simpul SA mengatur denyut jantung karena kecepatan impuls beriramanya lebih besar dari pada bagian jantung lainnya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa simpul SA merupakan pemacu jantung normal.

PEMACU JANTUNG ABNORMAL (EKTOPIK)
Kadang-kadang suatu bagian jantung lain mengeluarkan impuls berirama yang lebih cepat dari pada simpul SA. Misalnya ini sering terjadi didalam simpul AV atau serabut purkinje. Dalam salah satu kasus ini, pemacu jantung beralih dari simpul SA ke simpul AV atau serabut purkinje yang pekah rangsang. Kadang;kadang suatu tempat didalam otot atrium atau ventrikel mengembangkan kepekaan berkelebihan dan menjadi pemacu jantung. Suatu pemacu jantung ditempat lain dari pada simpul SA disebut suatu pemacu jantung ektopik.

PENYEBARAN EKSITASI JANTUNG
Depolarisasi yang dimulai pada SA node disebarkan secara radial ke seluruh atrium, kemudian semuanya bertemu di AV node. Seluruh depolarisasi atrium berlangsung selama kira-kira 0,1 detik. Oleh karena itu hantaran di AV node lambat maka terjadi perlambatan kira-kira 0,1 detik (perlambatan AV node) sebelum eksitasi menyebar keventrikel. Perlambatan ini diperpendek oleh perangsangan saraf simpatis yang menuju jantung dan akan memanjang akibat perangsangan vagus. Dari punjak septum, gelombang depolarisasi menyebar secara cepat didalam serat penghantar purkinye ke semua bagian ventrikel dalam waktu 0,08-0,1 detik. Pada manusia, depolarisasi otot ventrikel di mulai pada sisi kiri septum interventrikuler dan bergerak pertama-tama kekanan menyebrangi bagian septum. Gelombang depolarisasi kemudian menyebar kebagian bawah septum menuju apeks jantung. Setelah itu kembali sepanjang dinding ventrikel ke alur AV, kemudian terus berjalan dari permukaan endokardium ke epikardium

ELEKTRO KARDIOGRAM
Sewaktu gelombang impuls berjalan melalui jantung, arus listrik menyebar kedalam jaringan disekitar jantung, dan sebagian kecil menyebar kesemua arah permukaan tubuh. Bila elektroda ditempatkan dipermukaan tubuh pada sisi yang berhadapan dengan jantung, potensial listrik yang dibangkitkan oleh jantung dapat direkam, rekaman ini dikenal sebagai elektrokardiogram (EKG).
SIFAT-SIFAT ELEKTROKARDIOGRAM
Elektrokardiogram normal terdiri dari sebuah gelombang P, sebuah kompleks QRS dan sebuah gelombang T. kompleks QRS sebenarnya merupakan 3 gelombang tersendiri, gelombang Q, gelombang R dan gelombang S, kesemuanya disebabkan oleh lewatnya impuls jantung melalui ventrikel ini. Dalam EKG yang normal, gelombang Q dan S sering sangat kurang menonjol dari pada gelombang R dan kadang-kadang tidak ada, tetapi walau bagaimanapun gelombang ini masih di kenal sebagai kompleks QRS.
- Gelombang P disebabkan oleh arus listrik yang dibangkitkan sewaktu atrium mengalami depolarisasi (kondisi dimana terjadi proses penyebaran impuls/sinyal pada jantung) sebelum berkontraksi.
- Gelombang QRS disebabkan oleh arus listrik yang dibangkitkan ketika ventrikel mengalami depolarisasi sebelum berkontraksi, oleh karena itu gelombang P dan komponen-komponen kompleks QRS adalah gelombang/fase depolarisasi.
• Gelombang Q : defleksi (merupakan penyebaran proses depolarisasi) negatif pertama sesudah gelombang P dan yang mendahului defleksi R, dibangkitkan oleh depolarisasi permulaan ventrikel.
• Gelombang R : defleksi positif pertama sesuadah gelombang P dan yang ditimbulkan oleh depolarisasi utama ventrikel.
• Gelombang S : defleksi negatif sesudah defleksi R.
- Gelombang T disebabkan oleh arus listrik yang dibangkitkan sewaktu ventrikel kembali dari keadaan depolarisasi, proses ini terjadi didalam otot ventrikel sekitar 0,25 detik setelah depolarisasi, dan gelombang ini dikenal sebagai suatu gelombang repolarisasi (kondisi dimana otot-otot jantung tidak melakukan aktifitas/istirahat)


VOLTASE DAN KALIBRASI WAKTU PADA ELEKTROKARDIOGRAM
Interval P – Q jangka waktu diantara permulaan gelombang P dan permulaan gelombang QRS adalah interval diantara permulaan konraksi atrium dan permulaan kontraksi permulaan ventrikel. Periode waktu ini disebut interval P – Q. interval ini normalnya sekitar 0,16 detik, interval ini kadang-kadang juga disebut Interval P – R gelombang Q sering tidak ada.
Interval Q – T. kontraksi ventrikel pada dasarnya berlangsung diantara permulaan gelombang Q dan akhir gelombang T, interval waktu ini disebut interval Q – T dan biasanya kira-kira 0,30 detik.

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH

Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB) dapat didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi atau bersumber pada saluran cerna di bagian distal dari ligamentum Treitz. Jadi dapat berasal dari usus kecil dan usus besar. Pada umumnya perdarahan ini (sekitar 85%) ditandai dengan keluarnya darah segar per anum/per rektal yang bersifat akut, transient, berhenti sendiri, dan tidak mempengaruhi hemodinamik
Gambaran Klinis

MALARIA

2.1 Konsep Dasar Malaria
2.1.1 Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik disebabkan oleh protozoa genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali (Mansjoer dkk., 2001).
Malaria adalah sejenis penyakit menular yang dalam manusia sekitar 350-500 juta orang terinfeksi dan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun, terutama di daerah tropis dan di Afrika di bawah gurun Sahara (Wikipedia, 2002).
2.1.2 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia plasmodium terdiri dari empat spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu plasmodium falciparum yang meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale (Soedarmo, dkk., 2008).
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang sebelumnya terinfeksi. Pada keadaan lain, malaria berkembang pasca-penularan transplasenta atau sesudah transfusi darah yang terinfeksi. Masa inkubasi (antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dan adanya parasit dalam darah) bervariasi sesuai dengan spesies; pada P. falciparum masa inkubasinya 10 – 13; pada P.vivaks dan P. ovale, 12 – 16 hari; dan pada P. malariae 27 – 37 hari, tergantung pada ukuran inokulum. Malaria yang ditularkan melalui tranfusi darah yang terinfeksi nampak nyata pada waktu yang lebih pendek (Nelson, 2000).
Dalam daur hidupnya plasmodium mempunyai hospes yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit (Soedarmo, dkk., 2008).
Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah proses pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang dapat meghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik (Soedarmo, dkk., 2008).
Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ektrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.3 Transmisi
Soedarmo, dkk. (2008) memaparkan, malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah.
1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles
2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :
a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.
b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah.
c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (plasmodium gallinasium), burung dara (plasmodium relection) dan monyet (plasmodium knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.1.4 Klasifikasi malaria
Menurut Harijanto (2000) klasifikasi malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :
1. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum).
Malaria tropika/ falciparum merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Malaria falciparum dikelompokkan atas dua kelompok yaitu Malaria falciparum tanpa komplikasi yang digolongkan sebagai malaria ringan adalah penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum dengan tanda klinis ringan terutama sakit kepala, demam, menggigil, dan mual tanpa disertai kelainan fungsi organ. Sedangkan malaria falciparum dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi.
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
2. Malaria Kwartana (Plasmodium Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
3. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walaupun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
4. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.
2.1.5 Patogenesis dan Patologi
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi-isi sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelitial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah (Soedarmo, dkk., 2008).
Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia, menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk anemia hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi (Soedarmo, dkk., 2008).
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa didaerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.6 Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang palig mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa (Soedarmo, dkk., 2008).
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.7 Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselilingi oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemas, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus-menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinis minimal.
Tanda dan gejala yang di temukan pada klien dngan malaria secara umum menurut Mansjoer dkk. (2001) antara lain sebagai berikut :
1. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi). Pada Malaria Tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan di tandai dengan beberapa serangan demam periodik.
Gejala umum (gejala klasik) yaitu terjadinya “Trias Malaria” (malaria proxysm) secara berurutan :
a. Periode dingin.
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
b. Periode panas.
Muka merah, Ckulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai 40 atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat.
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
2. Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah.
3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan, eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time), dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.
4. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan sklera mata akibat kelebihan billirubin dalam darah. Billirubin adalah produk penguraian sel darah merah. Terdapat tiga jenis ikterus antara lain :
a. Ikterus hemolitik, disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel darah merah yang berlebihan. Ikterus ini dapat terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan dan hati dapat mengkonjugasikan semua billirubin yang di hasilkan.
b. Ikterus hepatoseluler, penurunan penyerapan dan konjugasi billirubin oleh hati terjadi pada disfungsi hepatosit dan di sebut dengan hepatoseluler.
c. Ikterus Obstruktif, sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati atau melalui duktus biliaris di sebut dengan ikterus obstuktif.
Malaria laten adalah masa pasien diluar masa serangan demam. Periode ini terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.
Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat bersifat :
a. Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
b. Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan berkembang biak.
2.1.8 Komplikasi
Harijanto (2006), mengemukakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari malaria yaitu :
1. Malaria serebral
2. Anemia berat
3. Gagal Ginjal Akut (urin <400>3mg%)
4. Edema paru atau ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
5. Hipoglikemia, kadar gula darah <40mg%
6. Gagal sirkulasi atau syok
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus, dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia.
9. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat anti malaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD)
2.1.9 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostik cepat (Depkes RI, 2006).
Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali, dan anemia. Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan seorang anak penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat untuk penyakit lain (Soedarmo, dkk., 2008).
Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5’-nukleotidase. Pada penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan likuor serebrospinal juga meningkat (Soedarmo, dkk., 2008).
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi epidemiologi (Soedarmo, dkk., 2008).
Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah mikroskopis fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen (Soedarmo, dkk., 2008).
Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis, atau hepatitis. Malaria dengan klinis yang lebih ringan, harus dibedakan dengan atau penyakit virus lainnya (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.10 Pengobatan
Dalam pengobatan malaria, faktor pilihan dan penggunaan obat-obat antimalaria yang efektif disesuaikan dengan jenis kasus malaria yang dihadapi merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, tidak kalah penting adalah pengobatan penunjang, yang diperlukan untuk memperbaiki gangguan patofisiologi penderita sebagai komplikasi malaria yang berat, misalnya perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, mengatasi anemia, kejang, hiperpireksia, hipoglikemi, muntah, dan kegagalan fungsi ginjal (Usman, 2009).
Mansjoer dkk. (2001) mengemukakan berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer yang dapat membasmi parasit stadium praeritrosit dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai obat profilaksis kausal, yaitu pirimetamin.
2. Skizontisida jaringan sekunder yang dapat membunuh parasit siklus eksoeritrosit P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, yaitu primakuin.
3. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrosit, yang berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinik.
Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale.
5. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat – obat yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.
Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina, pirimetamin, dan sulfadoksin (Soedarmo, dkk., 2008). Harijanto (2000) mengemukakan, obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivat artemisin.
1. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria.
2. Sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi.
3. Kina merupakan obat antimalaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
4. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat.
5. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrug.
Soedarmo, dkk. (2008) menjelaskan pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan dan malaria berat (disertai komplikasi).
A. Malaria ringan tanpa komplikasi
Malaria ringan tanpa komplikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan atau rawat inap sebagai berikut :
1. Klorokuin basa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam kemudian dilanjutkan 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB pada 24 jam (maksimal 300 mg basa). Atau hari I dan II masing-masing 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika ditambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan primakuin 0,25 mg/kgBB/hari, 14 hari.
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII masih dijumpai parasit dalam darah maka diberikan:
a. Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau sulfadoksin 20-30 mg/kgBB single dose (usia diatas 6 bulan). Obat ini tidak digunakan pada malaria tersiana.
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII masih dijumpai parasit maka diberikan :
a. Tetrasiklin HCl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a, atau:
b. Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis kina dan fansidar/suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin hanya diberikan pada umur 8 tahu atau lebih)
Obat Anti Malaria yang Masih Sangat Terbatas di Indonesia
1. Meflokuin
Tablet 274 mg meflokuin hidroklorida mengandung 250 mg meflokuin basa. Dosis untuk anak 15 mg meflokuin basa/kgBB, dosis tunggal, sebaiknya sesudah makan.
2. Halofantrin
Tablet 250 mg halofantrin hidroklorida mengandung 233 mg basa, sedangkan sirup tiap ml mengandung 100 mg halofantrin hidroklorida setara 93,2 mg basa. Dosis 24 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, yaitu 8 mg/kgBB tiap 8 jam dan diulang dengan dosis yang sama 1 minggu kemudian. Absorpsinya baik bila dimakan bersama makanan berlemak.
3. Artemisinin
Tablet/kapsul 250 mg. Dosis 10 mg/kgBB, sekali sehari selama 5 hari, untuk hari pertama diberikan dua dosis.
Pada saat ini sudah lebih dari 25 % provinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi terhadap obat standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli Malaria (KOMLI) menganjurkan strategi baru pengobatan malaria pada daerah-daerah tersebut dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk secara global menggunakan obat artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal sebagai Artemisinin based Combination Therapy (ACT) (Soedarmo, dkk., 2008).
Derivat artemisinin:
1. Artesunat:
a. Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan IM/IV; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
2. Artemether:
a. Tablet/kapsul 40 mg/50mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan: ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
3. Dehidroartemisinin:
Tablet/kapsul 20 mg/60 mg/ 80 mg. dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
4. Arheether:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk β-artheether (artenotil). Dosis pertama 4,8 mg/kgBB, 6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB tiap hari- selama 4 hari.
Obat malaria kombinasi (ACT) yang tidak tetap saat ini misalnya :
1. Artesunat + Meflokuin
2. Artesunat + Amodiakuin
3. Artesunat + Klorokuin
4. Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin
5. Artesunat + Pironoridin
6. Artesunat + Klorguanil-Dapson (CDA/Lapdap plus)
7. Dehidroartemisinin+ Piperakuin + Trimetoprim (Artecom)
8. Artecom + Primakuin (CVB)
9. Dehidroartemisinin + Naphtrokuin
Dari kombinasi tersebut diatas, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi artesunat + amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquin atau artesumoon. Obat ini tersedia untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi (>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis artesdiaquin merupakan gabungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3 hari, untuk hari pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB.
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif, sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.
Pemantauan Respon Pengobatan
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk mendeteksi pengobatan malaria secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan patologis. Dikatakan gagal pengobatan bila dijumpai salah satu criteria berikut :
1. Kegagalan pengobatan dini, bila :
a. Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3.
b. Parasitemia hari ke 2 > hari 0.
c. Parasitemia hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
d. Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > C37,5
2. Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih keadaan berikut :
a. Secara klinis dan parasitologi :
a) Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau
b) Parasitemia dan suhu aksila > C pada hari ke 4-28 tanpa ada kriteria gagal pengobatan dini.37,5
b. Secara parasitologi :
a) Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21, dan 28.
b) Suhu aksila < C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini.37,5
3. Respon klinis dan parasitologi memadai, apabila pasien sebelumnya tidak berkembang menjadi kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.
B. Malaria Berat
Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan secara cepat dan tepat sebagai berikut:
1. Tindakan umum/perawatan
2. Pemberian obat antimalaria/transfuse tukar
3. Pemberian cairan/nutrisi
4. Penanganan terhadap gangguan fungsi organ
Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif :
1. Pertahankan fungsi vital:sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
2. Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
3. Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap ½ jam. Awasi ikterus dan perdarahan
4. Posisi tidur sesuai kebutuhan
5. Perhatikan warna dan suhu kulit
6. Cegah hiperpireksi
7. Pemberian cairan: oral, sonde, infus
8. Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
9. Perhatikan kebersihan rambut
10. Perhatikan dieresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
2.1.11 Pencegahan
Dalam upaya pemberantasan penyakit malaria, Usman (2009) memaparkan berapa langkah dalam pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yang berakibat infeksi dan sebelum berlanjut ke pengobatan, antara lain:
1. Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup pestisida : pemethrin atau deltamethrin)
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Mencegah berada di alam bebas di mana nyamuk dapat mengigit atau harus memakai proteksi (baju dengan lengan panjang, kaus/stoking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00-06.00.
4. Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat/kelambu anti nyamuk.
5. Penyuluhan kesehatan hendaknya diselenggarakan terus-menerus di tingkat desa untuk membimbing masyarakat mengenal malaria, mendorong segera mencari pengobatan bila terserang malaria dan menyadarkan penduduk bahwa penyakit malaria dapat dicegah dan diberantas (Mahyuliansyah, 2009).
6. Peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria perlu ditingkatkan antara lain dalam hal pelaksanaan upaya yang bersifat sederhana misalnya menggalakkan perilaku hidup bersih dan sehat, melaporkan kejadian penyakit malaria secepatnya (Mahyuliansyah, 2009).
Soedarmo, dkk. ( 2008), memaparkan pencegahan malaria sebagai berikut:
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 basa sekali seminggu atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau lebih).
2. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam-stadium pada perjalan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a. Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia, b. Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c. Gametosit yang menginfeksi nyamuk;
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium Falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat mengurangi mobiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.

Cara Mempercepat Koneksi Modem

Mungkin banyak diantara sobat neamer yang sering jengkel dengan koneksi internet yang dipakai, apalagi yang memakai modem. mulai dari ko...